Ahad, 27 Oktober 2024, pagi itu T3 Soekarno-Hatta International Airport mulai ramai dengan rombongan kami—sebanyak 59 peserta dari sebuah perusahaan ternama di kawasan PIK, siap memulai insentive tour selama 7 hari 6 malam ke dua destinasi spektakuler di China: Chongqing dan Zhangjiajie. Saya bersama rekan sesama Tour Leader dari Webuy Travel sudah siap sejak pukul 06.00 WIB, memastikan semua berjalan lancar dari proses check-in hingga keberangkatan.
Ini adalah kesempatan ketiga saya memimpin tour ke luar negeri, dan rasanya tetap sama menyenangkannya—apalagi kali ini ke Chongqing, kota yang tak hanya dikenal sebagai kota terluas di daratan China, tapi juga punya daya tarik unik dengan landscape bertingkat, jembatan-jembatan ikonik, dan perpaduan antara modernitas dan kearifan lokal yang khas. Petualangan ini pun dimulai dengan semangat dan antusiasme luar biasa dari seluruh peserta.
Kali ini kami menggunakan China Southern Airlines, dengan jadwal penerbangan pukul 09.05 WIB dari Jakarta dan tiba di Guangzhou Baiyun International Airport (CAN) sekitar pukul 15.30 waktu setempat untuk transit.
Seperti biasa, saya selalu menikmati waktu di atas pesawat dengan menyantap inflight meals sambil memandangi hamparan lautan awan dari balik jendela—momen sederhana yang selalu memberi ketenangan tersendiri.
Yang menarik, tanpa disangka, passenger di sebelah saya ternyata berasal dari Majalengka, satu kampung halaman dengan saya. Ia sedang dalam perjalanan dinas ke Guangzhou dari kantornya.
Setelah transit yang cukup lancar, kami melanjutkan penerbangan kedua menuju Chongqing Jiangbei International Airport (CKG) dan akhirnya tiba di hotel Aimoke Chongqing sekitar pukul 22.00 malam waktu setempat.
Senin, 28 Oktober 2024, pagi yang cerah menjadi awal eksplorasi kami di kota Chongqing. Destinasi pertama adalah Liberation Monument (Jiefangbei), sebuah tugu peringatan bersejarah yang berdiri megah di pusat kota.
Tugu ini awalnya dibangun untuk memperingati kemenangan China atas Jepang pada akhir Perang Dunia II. Kini, kawasan di sekitarnya telah berkembang menjadi salah satu pusat perbelanjaan dan kuliner paling sibuk di Chongqing.
Kemudian kami berjalan kaki sekitar 15 menit menuju Kuixing Building, sebuah kompleks arsitektur modern yang menyimpan kejutan tak terduga. Di sana, kami tiba di sebuah alun-alun luas yang awalnya kami kira berada di ground floor.
Tapi ternyata area terbuka yang kami injak itu berada di lantai 22 gedung! Sebuah pengalaman unik yang hanya bisa ditemukan di kota berbukit seperti Chongqing, di mana struktur kota seolah bermain dengan dimensi ruang dan ketinggian.
Dari "lantai 22" tersebut, kami turun menyusuri jalan untuk menikmati suasana sekitar Jiefangbei lebih dekat, hingga akhirnya tiba di tepi sungai besar—tempat bertemunya Sungai Yangtze (sungai terpanjang di Asia dan ketiga terpanjang di dunia) dan Sungai Jialing, dua arus air yang membelah kota.
Menjelang siang, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi ikonik Liziba Station, stasiun MRT yang terkenal karena rel keretanya melewati lubang di tengah-tengah gedung apartemen. Pemandangan ini benar-benar mencerminkan keunikan infrastruktur Chongqing.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Raffles City Chongqing, salah satu ikon arsitektur dan pusat perbelanjaan modern yang megah, terkenal dengan skybridge horizontal bernama “The Crystal” yang menghubungkan beberapa gedung pencakar langit. Di sini, kami sejenak menikmati suasana khas Chongqing yang futuristik namun tetap berakar pada budaya lokal.
Tak jauh dari situ, kami menuju salah satu spot kuliner wajib: Chongqing Hotpot. Dengan kuah merah pedas yang mendidih dan aroma rempah yang kuat, pengalaman mencicipi hotpot khas ini menjadi momen seru yang tak terlupakan—itu menurut para peserta tour, bagi saya pribadi, saya kurang bisa menikmati.
Malam yang dinantikan pun tiba. Sekitar pukul 19.00, kami tiba di Hongya Dong, sebuah kompleks megah dengan arsitektur khas China kuno yang menjulang di tepi tebing dan menyatu indah dengan suasana modern kota Chongqing. Tempat ini benar-benar memukau.
Di dalamnya, terdapat deretan food street, toko oleh-oleh, serta jajanan lokal yang menggoda selera. Dari balkon dan jendela bangunan bertingkat ini, kami disuguhi pemandangan malam yang luar biasa: jembatan dan sungai Yangtze yang diterangi lampu kota, menciptakan panorama yang menakjubkan. Sepertinya, inilah spot terbaik di Chongqing yang wajib dikunjungi.
Selasa, 29 Oktober 2024, pagi yang segar kami awali dengan check out dari Aimoke Hotel Chongqing. Menggunakan dua bus, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya: Zuoshui Ancient Town, sebuah kota kuno yang menawarkan suasana damai dan autentik khas pedesaan China. Perjalanan kami tempuh kurang lebih 4 jam menyusuri jalanan pegunungan yang indah.
Setibanya di Zuoshui, kami disambut dengan udara bersih dan suasana tenang. Di sini, kami menikmati makan siang dengan hidangan lokal yang nikmat, sembari merasakan atmosfer tradisional dari bangunan-bangunan tua yang masih terjaga keasliannya.
Kami melanjutkan perjalanan sekitar 4 jam ke arah tenggara menuju Fenghuang Ancient Town, salah satu kota kuno terindah di China. Setibanya di sana menjelang malam, kami langsung disambut oleh gemerlap lampu kuning keemasan yang memantul di atas aliran tenang Sungai Tuojiang.
Malam itu kami menyaksikan sebuah pertunjukan sederhana namun menyentuh di atas perahu. Di tengah sunyi yang syahdu, seorang wanita berpakaian tradisional melintasi sungai dengan gerak lambat dan anggun. Pertunjukan itu menggambarkan kisah seorang istri yang dengan setia menanti suaminya kembali dari tugas negara.
Kami menjumpai deretan kuliner ekstrem yang agak membuat mual—dari ulat sutra, jangkrik, sampai kalajengking disusun rapi seperti sate. Saya sempat terdiam kaget, antara penasaran dan jijik. Tapi justru inilah yang bikin pengalaman di Fenghuang jadi tak terlupakan.
Setelah bermalam satu malam di kota Phoenix (Fenghuang), pagi hari Rabu, 30 Oktober 2024, kami melanjutkan perjalanan menuju Morong Miao Village yang berjarak tempuh sekitar 2 jam dari Fenghuang. Sesampainya di sana, kami disambut dengan tarian tradisional Miao sebagai ucapan selamat datang.
Desa ini sangat unik, dengan arsitektur khas suku Miao yang masih terjaga, suasana pedesaan yang tenang, serta banyak kios suvenir dan kerajinan tangan yang menarik untuk dibeli sebagai oleh-oleh.
Chongqing benar-benar kota yang layak untuk dikunjungi. Kota ini menawarkan perpaduan antara sejarah, budaya, arsitektur modern, kuliner ekstrem, dan pemandangan malam yang luar biasa. Kalau ditanya apakah saya mau balik lagi ke Chongqing? Jawabannya, tentu saja mau! Karena jujur saja, masih banyak sudut kota yang belum sempat saya eksplor.
Maklum, luas Chongqing mencapai 84.000 km², lebih luas dari provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah digabungkan. Kebayang kan, betapa luas dan kayanya wilayah ini? Rasanya satu kali kunjungan belum cukup untuk menikmati semua pesonanya...
• • •
Cerita bersambung di Blog selanjutnya: Berpetualang di Zhangjiajie Merasakan Glass Bridge Terpanjang dan Tertinggi di Dunia











































