Sebelum liburan semester tiba, saya membuat rencana menarik untuk mendaki Gunung Lawu. Awalnya, delapan orang akan berangkat bersama, namun seiring berjalannya waktu, satu per satu rencana itu sirna dan hanya tinggal berdua yang berani melanjutkan petualangan ini.
Saya dan teman saya memutuskan untuk berangkat dari Jogja menggunakan motor, melintasi perjalanan panjang menuju Cemoro Sewu di Magetan, Jawa Timur, tempat di mana basecamp pendakian Gunung Lawu berada. Rasa semangat dan kegembiraan kami tidak tergoyahkan oleh kenyataan bahwa kami akan mendaki hanya berdua.
Mendaki ke puncak pada malam Jumat memberikan pengalaman yang benar-benar unik. Saat kebanyakan pendaki lain sedang turun gunung, kami justru memulai pendakian. Terdengar sahutan semangat dari para pendaki, memberikan energi tambahan bagi kami.
Ditambah lagi, cuaca yang tengah musim hujan, serta kabut yang memenuhi jalur pendakian, semakin menambah kesan mistis dalam perjalanan kami.
Sebelum mencapai puncak, kami memutuskan untuk menghabiskan malam di Pos Lima. Di tengah suasana pegunungan yang sunyi, kami memasang tenda. Dan tepat sekali, hanya tenda kamilah yang ada di Pos Lima pada malam Jumat hari itu.
Suasana sunyi akhirnya tergantikan dengan hadirnya sunrise dan indahnya samudera awan di hadapan kami, sungguh pemandangan yang sangat menenangkan.
Setelah sunrise dari Pos Lima, kami meneruskan pendakian menuju puncak. Namun, perjalanan tidak selalu mudah karena jalur yang ditempuh penuh dengan kabut tebal. Di tengah perjalanan, kebingungan kami terobati saat menemukan warung tertinggi di Pulau Jawa. Selain itu, kami juga menjumpai sebuah sumur di dekat warung tersebut.
Akhirnya, kami berdua berhasil mencapai puncak tertinggi Hargo Dumilah di ketinggian 3265 mdpl. Di puncak ini, kami sangat bersyukur dan merasakan kepuasan atas pencapaian ini.
Tak lama setelah mencapai puncak, sekitar pukul delapan pagi, kami memulai perjalanan turun gunung dengan langkah cepat. Waktu menjadi prioritas karena kami ingin mengejar Shalat Jumat di Cemoro Sewu.
